MasterV, Jakarta – I Nyoman Parta, seorang Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, menyatakan apresiasinya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan tersebut mewajibkan pendidikan dasar, mulai dari SD hingga SMP, di seluruh sekolah, baik swasta maupun negeri, untuk digratiskan.
MasterV, Jakarta – I Nyoman Parta, Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, memberikan respons positif terhadap keputusan MK yang mengamanatkan pendidikan dasar (SD-SMP) gratis di sekolah swasta dan negeri.
Menurut Nyoman, keputusan ini merupakan sebuah langkah maju yang telah lama dinantikan oleh masyarakat luas.
“Ya, ini sangat bagus. Ini adalah putusan yang sangat progresif. Dan ini adalah harapan semua orang sejak dulu,” ungkap Nyoman dalam keterangannya pada hari Rabu (28/5/2025).
Nyoman berpendapat bahwa keputusan yang diambil oleh MK ini sejalan dengan cita-cita luhur kemerdekaan Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, Nyoman mengingatkan bahwa implementasinya di lapangan tidak akan semudah bunyi putusan tersebut, terutama mengingat beragamnya kategori sekolah swasta yang ada.
“Hanya saja, implementasinya sedikit problematik. Ada SD swasta mandiri, ada SD swasta yang tidak mandiri. Kemudian ada SMP swasta tidak mandiri, dan ada pula SMP swasta mandiri,” jelas Nyoman.
Sekolah swasta yang tidak mandiri adalah sekolah yang pembiayaannya bergantung pada pemerintah dan sumber-sumber eksternal lainnya.
Nyoman menjelaskan lebih lanjut bahwa sekolah-sekolah semacam itu biasanya muncul dari kebutuhan masyarakat di daerah-daerah terpencil yang kekurangan sekolah negeri.
“Nah, menurut saya, untuk yang seperti ini tidak ada masalah. Sekolah-sekolah ini memang seharusnya digratiskan,” tegas Nyoman.
Sebaliknya, terdapat sekolah swasta mandiri yang sebagian besar siswanya berasal dari keluarga yang mampu secara finansial dan tidak bergantung pada dana dari pemerintah.
“Sekolah swasta itu tidak mengambil dana dari BOS, kan. Artinya, mereka tidak terlalu bergantung pada biaya dari dana BOS. Akan tetapi, mereka mendapatkan dana dari kontribusi orang tua murid. Nah, bagaimana cara mengurus dan mengatur hal ini?” tanya Nyoman.
Nyoman menambahkan bahwa saat ini DPR, melalui Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), tengah membahas skema yang relevan untuk mengakomodasi berbagai jenis sekolah tersebut.
Ia berharap agar aturan turunan dari putusan MK nantinya dapat membedakan dengan jelas antara sekolah yang harus digratiskan sepenuhnya dan sekolah yang masih diperbolehkan menerima kontribusi dari masyarakat.
“Kebetulan sekali, DPR sedang menyelenggarakan Panja Sisdiknas. Panja ini akan berupaya memasukkan hal ini agar jelas, mana sekolah yang masuk kategori gratis dan mana yang menjadi kontribusi dari masyarakat,” tutur Nyoman.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah, wajib menggratiskan pendidikan dasar yang diselenggarakan pada satuan pendidikan SD, SMP, dan madrasah atau sederajat, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 di MK RI, Jakarta, Selasa (27/5/2025).
MK menyatakan bahwa frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah menimbulkan multitafsir dan perlakuan diskriminatif, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” yang penerapannya hanya berlaku bagi sekolah negeri dapat menyebabkan kesenjangan akses pendidikan dasar bagi siswa yang bersekolah di sekolah swasta.
Sejatinya, konstitusi tidak memberikan batasan mengenai pendidikan dasar mana yang wajib dibiayai oleh negara. Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar warga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar.
“Dalam hal ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai pendidikan dasar, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau negeri maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat atau swasta,” imbuh Enny.
Menurut MK, jika frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” hanya dimaknai berlaku untuk sekolah negeri, maka negara justru mengabaikan fakta bahwa keterbatasan daya tampung sekolah negeri telah memaksa banyak anak untuk bersekolah di sekolah swasta dengan beban biaya yang lebih besar.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK dalam amar putusannya mengubah norma frasa Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menjadi “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat”.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh sebuah lembaga masyarakat sipil bernama Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, serta tiga orang ibu rumah tangga, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.